Jumat, 20 April 2018

HUKUM BERCELAK SAAT PUASA

KESIMPULAN TEAM DHF

HUKUM MEMAKAI CELAK MATA SAAT BERPUASA
-----------------------------

📝 PERTANYAAN:

assalamu'alaikum

Bagaimana hukum nya memakai celak mata pada saat berpuasa:

📖 JAWABAN:

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته

Ulama' klilafiyah terkait permasalahan di atas.

1⃣Pendapat pertama:
Memakai celak mata ketika berpuasa diperbolehkan (tidak di makruhkan) dan tidak membatal kan puasa (puasanya sah),karena mata bukan merupakan manfadz (saluran tembus menuju jauf atau perut)

Didalam kitab: " Al-Fiqhul Manhaj Ala Madzahibil Imam Asy Syafii hal 84 di jelaskan bahwa:

" meneteskan kedalam lubang telingga,membatal kan puasa karna telingga adalah lubang yang terbuka

Sedangkan meneteskan kedalam mata itu tidak membatalkan puasa,karena mata itu lubang yang tidak terbuka.

Pernyataan tersebut di kuatkan oleh imam nawawi, dan beberapa ulama' lain nya: bahwa hukum bercelak boleh,tidak membatalkan puasa dan tidak di makruhkan, baik celak itu di temukan rasa (sifat) ataupun tidak .

2⃣Pendapat kedua:
Sebagian ulama menghukumi batal puasanya sebab bercelak, pendapat tersebut sebagaimana di tuturkan /ceritakan ibnu mundzir,  dari sulaiman, at_taimiy, dan imam manshur bin al mu'tamir, dan ibnu syubrumah dan imam ibnu abiy lala.

3⃣Pendapat ketiga:
Menurt imam qotadah
Tergantung bentuk celak nya.

4⃣Pendapat ke emapat:
Imam tasuriy dan imam abu ishaq hanya sebatas makruh bercelak saat berpuasa.

5⃣Pendapat ke lima:
Menurut imam Malik dan imam Ahmad tidak membatalkan puasa tetapi di makruhkan apabila celak tersebut sampai terasa di kerongkongan.
(Lihat al_majmu' syarah al.muhadzdzab 6/ 388_389)

📝Catatan:
Terlepas dari khilafiyah tersebut
Di dalam  Madzhab Syafii yg di anggap kuat dan bisa dijadikan pijakan hukum adalah  BOLEH (tidak makruh) dan puasanya tidak batal (tetap sah)

📚 REFERENSI:

📕 المهذب بهامش المجموع ج ٦ ص ٣٨٧ للإمام الشيرازي

📖 قَالَ الْمُصَنِّفُ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى ( وَيَجُوزُ لِلصَّائِمِ أَنْ يَنْزِلَ الْمَاءَ وَيَنْغَطِسَ فِيهِ ; لِمَا رَوَى أَبُو بَكْرِ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْحَارِثِ بْنِ هِشَامٍ قَالَ : { حَدَّثَنِي مَنْ رَأَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي يَوْمٍ صَائِفٍ يَصُبُّ عَلَى رَأْسِهِ الْمَاءَ مِنْ شِدَّةِ الْحَرِّ وَالْعَطَشِ وَهُوَ صَائِمٌ } . وَيَجُوزُ أَنْ يَكْتَحِلَ ; لِمَا رُوِيَ عَنْ أَنَسٍ " أَنَّهُ كَانَ يَكْتَحِلُ وَهُوَ صَائِمٌ " وَلِأَنَّ الْعَيْنَ لَيْسَ بِمَنْفَذٍ ، فَلَمْ يَبْطُلُ الصَّوْمُ بِمَا يَصِلُ إلَيْهَا ) .

📔 Al-Fiqhul Manhaj Ala Madzahibil Imam Asy Syafii hal 84

فاقطرة كن لأذن مفطرة لأنها منفد مفتوح، والقطرة فآالعين عير مفطرة لأنه منفد غير مفتوح.

_____________
Berikut ibaroh khilafiyah

📕 المجموع شرح المهذب ج ٦ ص ٣٨٨-٣٨٩

( الثَّانِيَةُ ) يَجُوزُ لِلصَّائِمِ الِاكْتِحَالُ بِجَمِيعِ الْأَكْحَالِ وَلَا يُفْطِرُ بِذَلِكَ سَوَاءٌ وَجَدَ طَعْمَهُ فِي حَلْقِهِ أَمْ لَا ; لِأَنَّ الْعَيْنَ لَيْسَتْ بِجَوْفٍ وَلَا مَنْفَذَ مِنْهَا إلَى الْحَلْقِ ، قَالَ أَصْحَابُنَا : وَلَا يُكْرَهُ الِاكْتِحَالُ عِنْدَنَا ، قَالَ الْبَنْدَنِيجِيُّ وَغَيْرُهُ : سَوَاءٌ تَنَخَّمَهُ أَمْ لَا . فَرْعٌ فِي مَذَاهِبِ الْعُلَمَاءِ فِي الِاكْتِحَالِ ذَكَرْنَا أَنَّهُ جَائِزٌ عِنْدَنَا وَلَا يُكْرَهُ وَلَا يُفْطِرُ بِهِ ، سَوَاءٌ وَجَدَ طَعْمَهُ فِي حَلْقِهِ أَمْ لَا . وَحَكَاهُ ابْنُ الْمُنْذِرِ عَنْ  عَطَاءٍ وَالْحَسَنِ الْبَصْرِيِّ وَالنَّخَعِيِّ وَالْأَوْزَاعِيِّ وَأَبِي حَنِيفَةَ وَأَبِي ثَوْرٍ ، وَحَكَاهُ غَيْرُهُ عَنْ ابْنِ عُمَرَ وَأَنَسٍ وَابْنِ أَبِي أَوْفَى الصَّحَابِيَّيْنِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَبِهِ قَالَ دَاوُد . وَحَكَى ابْنُ الْمُنْذِرِ عَنْ سُلَيْمَانَ التَّيْمِيِّ وَمَنْصُورِ بْنِ الْمُعْتَمِرِ وَابْنِ شُبْرُمَةَ  وَابْنِ أَبِي لَيْلَى أَنَّهُمْ قَالُوا : يَبْطُلُ بِهِ صَوْمُهُ . وَقَالَ قَتَادَةُ : يَجُوزُ بِالْإِثْمِدِ وَيُكْرَهُ بِالصَّبْرِ . وَقَالَ الثَّوْرِيُّ وَإِسْحَاقُ : يُكْرَهُ .

قَالَ مَالِكٌ وَأَحْمَدُ : يُكْرَهُ وَإِنْ وَصَلَ إلَى الْحَلْقِ أَفْطَرَ . وَاحْتَجَّ لِلْمَانِعِينَ بِحَدِيثِ مَعْبَدِ بْنِ هَوْذَةَ الصَّحَابِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ { أَنَّهُ أَمَرَ بِالْإِثْمِدِ الْمُرَوِّحِ عِنْدَ النَّوْمِ . وَقَالَ : لِيَتَّقِهِ الصَّائِمُ } رَوَاهُ أَبُو دَاوُد وَقَالَ : قَالَ لِي  يَحْيَى بْنُ مَعِينٍ : هُوَ حَدِيثٌ مُنْكَرٌ . وَاحْتَجَّ أَصْحَابُنَا بِأَحَادِيثَ ضَعِيفَةٍ نَذْكُرُهَا لِئَلَّا يُغْتَرَّ بِهَا . مِنْهَا حَدِيثُ عَائِشَةَ قَالَتْ : { اكْتَحَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ صَائِمٌ } رَوَاهُ ابْنُ مَاجَهْ بِإِسْنَادٍ ضَعِيفٍ مِنْ رِوَايَةِ بَقِيَّةَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ الزُّبَيْدِيِّ شَيْخِ بَقِيَّةَ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ . قَالَ الْبَيْهَقِيُّ : وَسَعِيدُ الزُّبَيْدِيُّ هَذَا مِنْ مَجَاهِيلِ شُيُوخِ بَقِيَّةَ يَنْفَرِدُ بِمَا لَا يُتَابَعُ عَلَيْهِ ( قُلْتُ ) وَقَدْ اتَّفَقَ الْحُفَّاظُ عَلَى أَنَّ رِوَايَةَ بَقِيَّةَ عَنْ الْمَجْهُولِينَ مَرْدُودَةٌ . وَاخْتَلَفُوا فِي رِوَايَتِهِ عَنْ الْمَعْرُوفِينَ فَلَا يُحْتَجُّ بِحَدِيثِهِ هَذَا بِلَا خِلَافٍ . وَعَنْ أَنَسٍ قَالَ : { جَاءَ رَجُلٌ إلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : اشْتَكَتْ عَيْنِي أَفَأَكْتَحِلُ وَأَنَا صَائِمٌ ؟ قَالَ : نَعَمْ } رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَقَالَ : لَيْسَ إسْنَادُهُ بِالْقَوِيِّ . قَالَ : وَلَا يَصِحُّ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي هَذَا الْبَابِ شَيْءٌ . وَعَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ : { خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَيْنَاهُ مَمْلُوءَتَانِ مِنْ الْكُحْلِ وَذَلِكَ فِي رَمَضَانَ وَهُوَ صَائِمٌ } فِي إسْنَادِهِ مَنْ اُخْتُلِفَ فِي تَوْثِيقِهِ . وَعَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي رَافِعٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ { كَانَ يَكْتَحِلُ بِالْإِثْمِدِ وَهُوَ صَائِمٌ } رَوَاهُ  الْبَيْهَقِيُّ وَضَعَّفَهُ ; لِأَنَّ رَاوِيهِ مُحَمَّدٌ هَذَا ضَعِيفٌ قَالَ الْبَيْهَقِيُّ : وَرُوِيَ عَنْ أَنَسٍ مَرْفُوعًا بِإِسْنَادٍ ضَعِيفٍ جِدًّا أَنَّهُ لَا بَأْسَ بِهِ . وَاحْتَجُّوا بِالْأَثَرِ الْمَذْكُورِ عَنْ أَنَسٍ وَقَدْ بَيَّنَّا إسْنَادَهُ . وَفِي سُنَنِ أَبِي دَاوُد عَنْ الْأَعْمَشِ قَالَ : مَا رَأَيْتُ أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِنَا يَكْرَهُ الْكُحْلَ لِلصَّائِمِ ، وَالْمُعْتَمَدُ فِي الْمَسْأَلَةِ مَا ذَكَرَهُ الْمُصَنِّفُ .

[ والله اعلم بالصواب ]

Diskusihukumfiqh212.blogspot.com
hikmahdhf.blogspot.com

HUKUM MEMBERIKAN SUSU FORMULA DAN HUKUM MENYAPIH BAYI

KESIMPULAN TEAM DHF

HUKUM MEMBERIKAN SUSU FORMULA TERHADAP ANAK DAN BATAS ANAK MENYUSU KEPADA IBUNYA:

📋 Assalamu'alaikum:

Saya mau tanya ustad:

Bagaimana hukum nya pemberian susu formula pada bayi atau balita:

Terima kasih:

📝 JAWABAN:

وعليكم السلام ورحمة الله وبركا ته

✍ MEMBERIKAN SUSU FORMULA TERHADAP ANAK

Seorang ibu tetap wajib menyusui anak nya dengan asi  (air susu ibu) walaupun sebentar, minimal: tiga hari, menurut sebagian pendapat mengatakan minimal tujuh hari, selebih nya boleh disusu kan pada orang lain,atau boleh juga menggunakan susu formula

Batas MAXSIMAL jika memungkinkan bagi seorang ibu menyusui anak nya adalah dua tahun , sehingga di anggap berdosa bagi ibu manakala menyapih (memberhentikan menyusi anak (jika tdak ada udzur)

Sebagai mana firman Allah:

Dalam surah: Al-Baqarah, ayat 233

{وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلا وُسْعَهَا لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوا أَوْلادَكُمْ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا آتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (233) }

Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya, dan seorang ayah karena anaknya, dan waris pun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kalian ingin anak kalian disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagi kalian apabila kalian memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kalian kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kalian kerjakakan

Adapaun ancaman nya bagi ibu yg tidak mau menyusui anak nya:
Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berikut ini:

Dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ثُمَّ انْطَلَقَ بِي فَإِذَا بِنِسَاءٍ تَنْهَشُ ثَدْيَهُنَّ الْحَيَّاتُ, قُلْتُ: مَا بَالُ هَؤُلَاءِ؟ قِيلَ: هَؤُلَاءِ اللَّاتِي يَمْنَعْنَ أَوْلَادَهُنَّ أَلْبَانَهُنَّ

“Kemudian malaikat mengajakku melanjutkan perjalanan. Tiba-tiba aku melihat wanita yang payvdaranya dicabik-cabik ular. Aku bertanya, “Ada apa dengan mereka?” Malaikat menjawab, “Mereka adalah para wanita yang tidak mau menyusui anak-anaknya (tanpa alasan yang dibenarkan, pen.).”
(HR. Ibnu Hibban dalam Shahih Ibnu Hibban no. 7491, hadits shahih)

📝 CATATAN:

" Berbagai jenis susu, selain asi diberikan bila mana, asi si ibu tidak produktif atau tidak di mungkin kan diberikan kepada bayi atau tidak keluar"
Hal tersebut di bolehkan karena ada alasan syar,i yg dapat di legalkan oleh syariat,
Adapun jika tanpa udzur syar,ie maka ia berdosa dan disiksa yg pedih sebagaimana tertera dlm hadist di atas.

✍  BATAS ANAK MENYUSU PADA IBUNYA:

Pada dasar nya ulama khilafiyah terhadap had atau batas menyusui

Imam Akromah dari Imam Ibnu Abbas menjelaskan:

Apabila anak lahir dalam usia kandungan 6 bulan maka harus di susui sampai 2 tahun secara Sempurna selama 24 bulan

Apabila anak lahir pada usia kandungan 7 bulan,maka batas menyusui nya 23 bulan

Apabila anak itu di lahirkan pada usia 9 bulan maka batas menyusui nya 21 bulan

Jadi jumlah dari semenjak dalam kandungan sampai batas ia menyusui adalah 30 bulan secara keseluruhan

Sebagian qaum berpendapat:

batas menyusui bagi anak ialah:

Dengan waktu yang mana tidak boleh berkurang dan tidak boleh lebih dari 2 tahun

Kecuali ia menghendaki untuk lebih dari 2 tahun maka boleh

Adapun jika seumpama ayah nya menghendaki agar anak nya di sapih ( berhentikan menyusu) sebelum usia 2 tahun sementara ibu nya tidak ridho

Maka keputusan yang di ambil adalah keputusan sang ibu (tidak di sapih)

Tetapi jika ibu yang menghendaki untuk menyapih anak nya sebelum usia anak tersebut berusia 2 tahun sementara sang ayah bilang jangan di sapih

Maka tidak boleh di sapih kecuali kedua nya sudah sepakat antara di sapih atau tetap lanjut di susui

Yang artinya jika kedua nya sudah sepakat untuk di sapih maka boleh di sapih sebelum usia 2 tahun

Namun jika tidak ada kesepakatan kedua nya maka tidak boleh di sapih

Pendapat ini du kemukakan oleh imam ibnu jariih dan imam atsuri dan riwayat dari al_walabiy dari ibnu abbas

Sementara ulama yang lain berpendapat:

Bahwa batas menyusui anak adalah 2 tahun
Jika lebih dari 2 tahun hukum nya haram

Pendapat ini di kemukakan oleh abdullah dan ibnu abbas,ibnu umar, imam al-qomah,imam al-sya'biy dan imam al-zuhriy

Hal ini berdasarkan hadist:

لارضاع بعد الحولين

Tidak ada susuan sesudah usia 2 tahun

Menurut beliau hadist ini menunjukkan keharaman menyusui setelah usia 2 tahun

Menurut Imam Qotadah dan Imam Robi'ah:

Allah mewajibkan menyusui anak hingga batas usia 2 tahun,kemudian mendapat rukhson dan keringanan bahwa masa 2 tahun itu hanya bagi orang yang menghendaki,yang artinya boleh apabila tidak sampai 2 tahun menyusui nya

📝 CATATAN:

Menyapih anak (menghentikan susuan) sblm mencapai dua tahun di bolehkan. Manakala terdapat kesepakatan ayahan ibu nya.
Serta tdk menimbulkan bahaya atau mudlorot kepda sang anak.

Begitu pula jika menyapih anak tersebut berdasarkan kemauan sang ibu maka juga harus melihat dan menimbang kemaslahatan terhdap anak tersebut dan tentu harus tdk ada mudorrot yg membayakan kesehatan dan fisik anaknya.

📚 REFERENSI MEMBERIKAN SUSU FORMULA TERHADAP BAYI

📕 اعانة الطالبين

ويجب على أم إرضاع ولدها اللبأ وهو اللبن أول الولادة ومدته يسيرة، وقيل يقدر بثلاثة أيام وقيل سبعة.
ثم بعده إن لم توجد إلا هي أو أجنبية وجب إرضاعه على من وجدت ولها طلب الاجرة ممن تلزمه مؤنته، وإن وجدتا لم تجبر الام خلية كانت أو في
نكاح أبيه، فإن رغبت في إرضاعه فليس لابيه منعها إلا إن طلبت فوق أجرة المثل، وعلى أب أجرة مثل لام لإرضاع ولدها حيث لا متبرع بالرضاع وكمتبرع راض بما رضيت

📒 التعليقات الحسان على صحيح ابن حبان (10/ 456)

ثُمَّ انطُلق بِي فَإِذَا بِنِسَاءٍ تَنْهَشُ ثُدِيَّهُنَّ الْحَيَّاتُ قُلْتُ: مَا بَالُ هَؤُلَاءِ؟ قِيلَ هَؤُلَاءِ اللَّاتِي يَمْنَعْنَ أَوْلَادَهُنَّ أَلْبَانَهُنَّ

📓 صحيح مسلم (5/ 161)

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يَحْبِسَ عَمَّنْ يَمْلِكُ قُوتَهُ

📔 سنن أبى داود – م (2/ 59)

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوتُ ».

Pendukung

📕 صحيح مسلم (13/ 318)

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ دَخَلَتْ امْرَأَةٌ النَّارَ فِي هِرَّةٍ رَبَطَتْهَا فَلَا هِيَ أَطْعَمَتْهَا وَلَا هِيَ أَرْسَلَتْهَا تَأْكُلُ مِنْ خَشَاشِ الْأَرْضِ حَتَّى مَاتَتْ هَزْلًا


📖 REFERENSI BATAS ANAK MENYUSU PADA IBU NYA:

Tafsir ats_tsa'laby juz 2 hal 180_182 maktabah syamilah

سورة البقرة (٢) : الآيات ٢٣٣ الى ٢٣٤]
وَالْوالِداتُ يُرْضِعْنَ أَوْلادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كامِلَيْنِ لِمَنْ أَرادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضاعَةَ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلاَّ وُسْعَها لا تُضَارَّ والِدَةٌ بِوَلَدِها وَلا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوارِثِ مِثْلُ ذلِكَ فَإِنْ أَرادا فِصالاً عَنْ تَراضٍ مِنْهُما وَتَشاوُرٍ فَلا جُناحَ عَلَيْهِما وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوا أَوْلادَكُمْ فَلا جُناحَ عَلَيْكُمْ إِذا سَلَّمْتُمْ ما آتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِما تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (٢٣٣) وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْواجاً يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْراً فَإِذا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلا جُناحَ عَلَيْكُمْ فِيما فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَاللَّهُ بِما تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ (٢٣٤)
وَالْوالِداتُ المطلقات اللاتي لهنّ أولاد من أزواجهنّ المطلقين ولدنهم قبل الطلاق أو بعده يُرْضِعْنَ أَوْلادَهُنَّ يعني أنهنّ أحق برضاعهنّ من غيرهنّ، أمر استحباب لا أمر إيجاب من أنه رضاعهن عليهنّ لأنه سبحانه وتعالى قال في سورة الطلاق فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ إلى لَهُ أُخْرى «٢» .
ثم بيّن حدّ الرضاع فقال: حَوْلَيْنِ أي سنتين، وأصله من قولهم: حال الشيء إذا انتقل وتغيّر كامِلَيْنِ على التأكيد كقوله تِلْكَ عَشَرَةٌ كامِلَةٌ، وقال أهل المعاني: إنما قال كامِلَيْنِ

لأنّ العرب تقول: أقام فلان مقام كذا حولين أو شهرين وإنما أقام حولا وبعض آخر، ويقولون:
اليوم يومان مذ لم أره، وإنما يعنون يوما وبعض آخر، ومنه قوله فَمَنْ تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ ومعلوم أنه يتعجل أو يتأخر في يوم ونصف، ومثلها كثير، فبيّن الله أنهما حولان كاملان أربعة وعشرين شهرا من يوم ولد إلى أن يفطم.
واختلف العلماء في هذا الحدّ أهو حدّ لكل مولود أو حدّ لبعض دون بعض؟ فروى عكرمة عن ابن عباس: إذا وضعت لستة أشهر فإنها ترضعه حولين كاملين، أربعة وعشرين شهرا، وإذا وضعته لسبعة أشهر أرضعته ثلاثة وعشرين شهرا، وإذا وضعته لتسعة أشهر أرضعته إحدى وعشرين شهرا، كل ذلك تمام ثلاثين شهرا، قال الله تعالى: وَحَمْلُهُ وَفِصالُهُ ثَلاثُونَ شَهْراً.
وقال قوم: هو حدّ لكل مولود في وقت وأن لا ينقص من حولين ولا يزيد إلّا أن يشاء الزيادة فإن أراد الأب يفطمه قبل الحولين ولم ترض الأم فليس له ذلك، وإذا قالت الأم: أنا أفطمه قبل الحولين، وقال الأب: لا، فليس لها أن تفطمه حتّى يتفقا جميعا على الرضا، فإن اجتمعا قبل الحولين فطماه وإن اختلفا لم يفطماه قبل الحولين، وذلك قوله عَنْ تَراضٍ مِنْهُما ويشاور هذا قول ابن جريح والثوري ورواية الوالبي عن ابن عباس.
وقال آخرون: المراد بهذه الآية الدلالة على الرضاع ما كان في الحولين، فإنّ ما بعد الحولين من الرضاع يحرم، وهو قول علي وعبد الله وابن عباس وابن عمر وعلقمة والشعبي والزهري
، وفي الحديث: لا رضاع بعد الحولين، وإنما يحرم من الرضاع ما أنبت اللحم وأنشر العظم.
وقال قتادة والربيع: فرض الله عزّ وجل على الوالدات أن يُرْضِعْنَ أَوْلادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كامِلَيْنِ ثم أنزل الرخصة والتخفيف بعد ذلك فقال: لِمَنْ أَرادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضاعَةَ أي هذا منتهى الرضاع، وليس فيما دون ذلك وقت محدود، وإنما هو على مقدار صلاح الصبي وما يعيش به، وقرأ أبو رجاء لِمَنْ أَرادَ أَنْ يُتِمَّ الرِّضاعَةَ بكسر الراء، قال الخليل والفرّاء: هما لغتان، مثل الوكالة والوكالة والدّلالة.
وقرأ مجاهد وابن محجن لِمَنْ أَرادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضْعَةَ وهي فعلة كالمرّة الواحدة، وقرأ عكرمة وحميد وعون العقيلي لمن أراد أن تتم الرضاعة بتاء مفتوحة ورفع الرضاعة على أن الفعل لها، وقرأ ابن عباس يكمل الرضاعة.
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ يعني الأب رِزْقُهُنَّ طعامهنّ وقوتهنّ وَكِسْوَتُهُنَّ لباسهنّ، وقرأ طلحة عن مصرف كُسْوَتُهُنَّ بضم الكاف، وهما لغتان مثل أسوه وإسوة ورشوه ورشوة بِالْمَعْرُوفِ علم الله تفاوت أحوال خلقه في الغنى والفقر، فقال بِالْمَعْرُوفِ أي على قدر الميسرة جعل الرضاعة على الأم والنفقة على الأب لا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَها والتكليف
الإلزام، قال الشاعر:
تكلّفني معيشة آل فهر ... ومن لي بالصلائق والصناب «١»


Ibaroh pendukung di dlam.kitab

نهاية المطالبب فى دارية المذهب جز 15 ص 574 _576 مكتبة

١٠٢٥٤ - ثم قال الأئمة: للأم الحرة حقٌّ متأكد في الولد الحر لا يثبت مثله في الأمة؛ فإن الأب لو أراد فطام الولد قبل الحولين، لم يكن له ذلك دون رضا الأم، ولو أرادت الأم أن تفطمه، لم يكن لها ذلك دون رضا الأب، فإن توافقا على الفطام قبل الحولين، وكان لا يضر الفطام بالولد في غلبة الظن، فحينئذ يجوز.
هكذا قال الأصحاب، وتمسكوا فيه بظاهر قوله تعالى: {وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ} [البقرة: ٢٣٣]، وظاهر الآية أن الأم إذا أرادت استكمالَ الرضاع حولين بنفسها، أو بإرضاع ظئر، فليس للأب الفطام، وعليه مؤونةُ الرضاع إلى انقضاء الحولين.
وعندي أن هذا وما قاله الأصحاب فيه إذا كان الرضاع ينفع المولود، وفَطْمُه قد يؤثر في إنهاكه، وإن كان يغلب على الظن سلامته، فلا بد من رضا الوالدين، وإن كان بحيث لا ينهكه الفطام، وقد صار الصبيّ مضرباً عن الرضاع لاهياً، فليس يبعد أن يقال: للأب ألاّ يلتزم المؤونة والحالة هذه.
وفي القلب من الصورة الأولى شيء إذا كان يجوز لأحد الأبوين لو انفرد أن يفطم، ويجوز لهما أن يفطما، فليس يبعد حمل ما ذكرناه على الأوْلى، حتى يكون صَدَر الفطام عن شفيقين، فهذا ما يظهر عندي، ولكن ما رأيته للأصحاب ذاك الذي قدمته.
وإن كان الولد يتضرر بالفطام.
ثم قال من ربط الفطام دون الحولين برضا الأم: لا يُربطُ الفطامُ برضا الأَمَةِ الوالدة؛ فإنه لا حق لها في طلب حق المولود، وطلب حق المولود طرفٌ من الولاية، وقد ذكرنا أن للأم أن تطلب نفقةَ المولود، ولها أن تستقرض على الأب، وهذا ممتنع مستحيل من الأم الرقيقة.
ثم ذكر الشافعي أنه كما يجب على السيد الإنفاق على أمّ ولده يجب عليه الإنفاق
على أولادها من السفاح، والنكاح؛ فإن ملكه فيهم بمثابة ملكه في الأم، كما سيأتي في موضعه، إن شاء الله عز وجل.
١٠٢٥٥ - ثم قال: " ويمنعه الإمام أن يضرب على أمته خراجاً إلا أن تكون في عمل واجب "


Al bayan fil madzhab al.imam al_syafii juz 11 hal 271 maktbah syamilah

قال المسعودي [في " الإبانة "] : فطام ولد أمته حق للسيد، وله أن يفطمه قبل الحولين إذا لم يضر بالولد، بخلاف ولد الزوجين، فإنه لا يفطم قبل الحولين إلا باتفاقهما، وأما بعد الحولين: فمن طلب الفطام منهما أجيب إليه.

[ والله اعلم بالصواب ]

Diskusihukumfiqh212.blogspot.com
hikmahdhf.blogspot.com

HUKUM MEMINDAH/RENOFASI MASJID DAN PUING SISA RENOFASINYA

KESIMPULAN TEAM DHF

*HUKUM MEMBANGUN/RENOVASI MASJID DAN SISA RENOVASINYA*
➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖

Assalamualaikum,WR WB

izin bertanya
(Pertanyaan via inbox)
Deskripsi masalah:
Perkembangan model bangunan dan gedung yang terus berkembang dan bersaing berdampak pula pada bangunan masjid, sehingga tidak sedikit masjid-masjid yang masih layak dan kokoh lalu direnofasi dan bahkan ada yang dibongkar total demi mengikuti perkembangan mode gedung dan bangunan tadi.

Pertanyaan Sub A:
Bagaimana hukum puing puing masjid yang di gunakan untuk bangunan sarana umum lain, semisal musholla, madrasah, pondok pesantren, dan lain sebagainya ?

📝Jawaban:
Waalaikum salam wr wb.
Sisa renovasi masjid tidak boleh di gunakan/di fungsikan utk pembangunan lain sekalipun utk fungsi yg bersifat umum, sperti musholla,pondok, jalan umum,
Kecuali memang sudah tidak dapat di fungsikan lagi utk pembangunan masjid baru ataupun, di fungsikan utk masjid lain.
(Lihat i'nah tholibiin juz 3 hal 181)

◾SISA RENOVASI MASJID YG SUDAH TIDAK DAPAT DI FUNGSIKAN LAGI

Sementara jika sisa sia renovasi masjid tersebut tidak dapat di fungsikan lagi,
Menurut qaul yang mu'tamad sebagaimana di fatwakan imam syihab ar_romly bahwa:
Perkakas-perkakas dan alat-alat yang sebelumnya milik masjid bila telah rusak/tidak dipakai solusi yang ditawarkan adalah :
• Dirawat, mungkin satu saat dibutuhkan kembali pada masjid tersebut, bila tidak maka
• Diberikan pada masjid terdekat karena mungkin disana lebih dibutuhkan, bila tidak maka
• Diberikan pada yang mewakafkan kembali, bila tidak maka
• Diberikan pada fakir miskin atau digunakan untuk kepentingan-kepentingan umat islam bersama:
(Lihat i'anah tholibin 3/214)

◾HUKUM MENJUAL PUING_PUING SISA RENOFASI MASJID

Terjadi khilafiyah:

1_.Menurut Imam Ahmad boleh dijual dan uang hasil penjualan digunakan untuk membeli barang yang sama.
Utk pembangunan yg baru.

2.menurut jumhur ulama' Syafi’iyah dan Imam Malik secara mutlak menghukumi tidak boleh dijual (baik masih dapat di fungsikan maupun sudah rusak ataupun tidak dapat di fuggsikan lagi,sehingga barang-barang yang masih dapat digunakan, diberikan kepada masjid lain yang membutuhkan.
Jika tidak maka di biarkan sampai ia rusak dengan sendirinya.
Dan ia tetap bersetatus barang wakof masjid.

✍Sementara ulama' lain
Menurut qaul yg lebih ashoh dalam madzhab syafiiyah sebagaimana di kemukakan oleh imam rofi,ie dan imam nawawi , imam al baghowi, imam arruyani, imam abdul wahab al sya'roni, beliau mengutip fatwa syaikh Abu Bakar bin Ahmad , begitupula pendapat imam Abu zakariya muhyiddin yahya bin syarf al nawawi,
HUKUM NYA DI TAFSHIL:

✍ jika memang sudah tidak dapat di fungsikan lagi baik utk masjid yg di bangun ataupun utk masjid lain
boleh di jual dgn tiga syarat.

1_tidak layak lagi dimanfaatkan nya, kecuali hanya di bakar.

2_mawatir tersia siakan.
3_kawatir di ambil orang (di curi) atau di ghosab orang.

✍Sedangkan apabila masih dapat di fungsikan maka tidak boleh di jual.
Wajib di jaga atau di fungsikan utk masjid lain.

Nott.....!!!
GARIS BESARNYA adalah: BAHAN BANGUNAN SISA RENOVASI MASJID YANG MASIH DAPAT SI FUNGSIKAN,
tidak boleh dijual, ataupun utk di fungsikan pembangunan lain sekalipun utk kemaslahatan umum.

➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖

HUKUM MEMINDAH MASJID/MEMBANGUN MASJID BARU

Pertanyaan sub B:

Bagaimana hukumnya jika ada masjid yang sudah tidak muat menampung jama’ah, lalu membuat masjid baru. ..???

JAWABAN:
Jika alasan nya memng tidak muat dan tidak mampu menampung jama,ah lagi maka boleh merenovasi utk di perluas ataupun jika tidak memungkinkan utk di perluas boleh di pindah ke tempat lain misal sbb sempitnya lahan/tanah wakaf.
Dan masjid lama menurut sebagian pendapat boleh di jual kemudiandi  dan uang nya di buat membeli bahan bangunan utk membangun masjid yg baru.

Sebagaimana keterangan dalam kitab:
Kitab Raddul Mukhtar juz III halaman 512:
"Penduduk suatu daerah ingin membongkar masjid dan membangunnya kembali dengan bangunan yang lebih kokoh dari yang pertama. Jika yang membangun kembali masjid tersebut adalah penduduk daerah tersebut, maka hukumnya boleh, dan jika tidak maka hukumnya tidak boleh".

Dan keterangan
Kitab Syarhul Kabir juz III halaman 420:
"Jika manfaat dari wakaf tersebut secara keseluruhan sudah tidak ada, seperti rumah yang telah roboh atau tanah yang telah rusak dan kembali menjadi tanah yang mati yang tidak mungkin memakmurkannya lagi, atau masjid yang penduduk desa dari masjid tersebut telah pindah; dan masjid tersebut menjadi masjid di tempat yang tidak dipergunakan untuk melakukan shalat, atau masjid tersebut sempit dan tidak dapat menapung para jama'ah dan tidak mungkin memperluasnya di tempat tersebut, ... jika mungkin menjual sebahagiannya untuk memakmurkan sisanya, maka boleh menjual sebahagian. Dan jika tidak mungkin memanfaatkannya sedikitpun, maka boleh menjual seluruhnya"

TAMBAHAN:
dalam konteks permaslahan membuat masjid baru ada bebrapa versi
1_meroboh masjid yg pertama dan memindahkannya ke lokasi lain.
Jika memang tempat awal tdk memungkinkan utk perluasan krn sempitnya lahan.

Menurut imam as_subqiy ada tiga syarat.
1_tidak.merubah setatus nama/fungsi wakaf (tetap di babgun menjadi masjid)
2_utk kemaslahatan wakaf.
3_tidak.menghilangkan bangunan fisik nya.
(Lihat: hasyiah al qolyubiy 3/108)

2_boleh,merobohkan masjid lama kemudian di bangun lagi di tempat semula guna di perluas, (renovasi total)
Dgn syarat
1_ada izin dari nadzir,2_jika tdk ada nadzir maka izin ke hakim setempat.
3_jika tdk di temukan kedua nya maka atas izin org yg adil dgn mlihat maslhah serta adanya dugaan seandainya nadzir masih hidup akan ridlo

(Lihat kisyaaf al_qina' 14/489)
(Dapat dilihat juga dlm kitab radlul mukhtar 3/512)

3_atau boleh juga merobohkan sebagian dengan membiarkan sebagian yg lain utk memperluas bagian bangunan (renovasi sebagian bagunan)
(Refrensi ikut point 2)

4_membangun masjid baru dengan tetap mebiarkan masjid yang lama.

Jika memang alsan nya krn tidak mungkin membangun lebh luas di tempat awal maka boleh membangun di tempat lain, kemudian majid lama di jual uangnya utk pembangunan masjid baru.
Dapat di lihat dalam point ibarah kitab syarhul kabir 3/420
....او ضاق باهله ولم يمكن توسيعه جاز بيع البعض وان لم يمكن الانتفاع بشيء منه  بيع جميعه.

➖Atau tetap di biarkan, dan tetap di fungsikan utk i'tikaf dan sholat berjamaah dll.
(Lihat i'anh tholibin 3/181)
➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖
Pertanyaan sub C:
Dan bagaimana jika masjid yang lama di alih fungsikan menjadi TPQ (tempat pendidikan qur’an)...????

Jawaban:
Dalam madzhab syafiiyah
Tidak boleh di ubah fungsikan.

Kitab As Syarqawi juz II halaman 178:
"Tidak boleh menukarkan barang wakaf menurut madzhab kami (Syafi'i), walaupun sudah rusak. Berbeda dengan madzhab Hanafi yang membolehkannya. Contoh kebolehan menurut pendapat mereka adalah apabila tempat yang diwakafkan itu benar-benar hampir longsor, kemudian ditukarkan dengan tempat lain yang lebih baik dari padanya, sesudah ditetapkan oleh Hakim yang melihat kebenarannya".

➖➖➖➖➖➖➖➖
Pertanyaan sub D:
Dan bagaimana hukum i’tikaf
Jawaban:
Boleh dan sah i'tikaf nya karena selamanya tanah wakaf masjid tetap di hukumi masjid dan tetap berfungsi sebagaimana hukumnya masjid.

Sebagaimana keterangan dalam kitab:
Kitab I'aanatut Thaalibiin juz III halaman 181:
"Dan tidak boleh masjid dirusak. Artinya, masjid yang roboh yang telah disebutkan sebelumnya dalam ucapan mushannif "Maka andaikata ada sebuah masjid yang roboh". Masjid yang menganggur adalah seperti masjid yang roboh. Walhasil, sesungguhnya masjid yang telah roboh ini, artinya, atau telah menganggur sebab dianggurkan oleh penduduk desa tempat masjid tersebut berada sebagaimana keterangan yang telah lalu, maka masjid tersebut tidak boleh dirusak, artinya bangunannya tidak boleh dibatalkan dengan jalan disempurnakan penghancurannya dalam bentuk masjid yang roboh, atau dihancurkan mulai dari asalnya dalam bentuk masjid yang dianggurkan. Akan tetapi hukum masjid tersebut tetap dalam keadaannya sejak roboh atau menganggur. Yang demikian itu ialah karena masih mungkin melakukan shalat di masjid tersebut dalam keadaannya yang roboh ini dan masih mungkin mengembalikan bangunannya seperti sediakala".

➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖
Pertanyaan sub E:
dan bagai mana hukum orang haid yang masuk masjid lama tersebut ?

Jawban:
Terjadi khilafiyah lintas madzhab.

◾Dalam madzhab syafiiyah Hukum nya tetap haram bagi wanita haidl masuk kedlam bangunan tersebut, sebab masjid lama tersebut masih bersetatus masjid.

◼Munurut madzhab Hanafi, setelah tanah tersebut diputuskan menjadi halaman masjid, atau di jadikan TPQ sebagaimana kasus di atas maka hukumnya seperti halaman masjid yang lain yang tidak sama dengan hukum masjid.

Artinya jika masjid awal sudah di beli atau di ganti dgn yg lebih layak kemudian di wakafkan utk TPQ, maka setts hukumnya tidak lagi menjadi masjid melainkan berubah sesuai pemanfaatan yg kedua.

◼Menurut madzhab Hambali, setelah tanah/bangunan tersebut berubah fungsinya menjadi bukan masjid, maka hukumnya juga berubah.

◻◻◻◻◻◻◻◻◻◻◻◻
SUMBER RUJUKAN

📚REfrensi:
(SUB A)
حاشية اعانة الطالبين للسيد جزء 3 ص 181

ولايعمر به غير جنسه كرباط وبـئر كالعكس الا اذا تعذر جنسه ( قوله ولا يعمر به غير جنسه ) اى ولا يعمر بالنقض ما هو من غير جنس المسجد وقوله كالرباط وبئر تمثيل لغير جنس المسجد وقوله كالعكس هوان لا يعمر بنقض الرباط والبئر غير الجنس كالمسجد ( قوله الا اذا تعذر ) أي فانه يعمر به غير الجنس اهـ

غاية التلخيص المراد من فتاوي ابن زياد ص 259

(مسئلة) اوقاف المساجد والابار والرباط المسبلة اذا تعذر صرف متوجهاتها اليها على ما شرطه الواقف لخراب المساجد والعمران عندها يتولى الحاكم امر ذالك وفي صرفه خمسة اوجه احدها قاله الرويانى والموردي والبلقينى يصرف الى الفقراء والمساكن الثاني حكاه الحفاظى وقاله الماوردى ايضا انه كمنقطع الاخر الثالث حكاه الحفاظى ايضا يصرف الى المصالح الرابع قاله الامام وابن عجيل يحفظ لتوقع عوده الخامس وهو المعتمد وجرى عليه فى الانوار والجواهر وزكريا انه يصرف الى مثلها المسجد الى المسجد الخ.. والقريب اولى وعليه يحمل قول المتولى لأقرب المساجد

_________
Ianah at-Thoolibiin III/214
في سم ما نصه، الذي اعتمده شيخنا الشهاب الرملي أنه إن توقع عوده حفظ، وإلا صرفه لاقرب المساجد، وإلا فللاقرب إلى الواقف، وإلا فللفقراء والمساكين أو مصالح المسلمين.

حاشيتا قليوبي وعميرة الجزء 3 صحـ : 110 مكتبة دار إحياء الكتب العربيةقَوْلُهُ ( وَلَوِ انْهَدَمَ مَسْجِدٌ ) أَيْ وَتَعَذَّرَتِ الصَّلاَةُ فِيهِ لِخَرَابِ مَا حَوْلَهُ مَثَلاً قَوْلُهُ ( وَتَعَذَّرَتْ إِعَادَتُهُ ) أَيْ بِنَقْضِهِ ثُمَّ إِنْ رُجِيَ عَوْدُهُ حُفِظَ نَقْضُهُ وُجُوبًا وَلَوْ بِنَقْلِهِ إِلَى مَحِلٍّ آخَرَ إِنْ خِيْفَ عَلَيْهِ لَوْ بَقِيَ وَلِلْحَاكِمِ هَدْمُهُ وَنَقْلُ نَقْضِهِ إِلَى مَحِلٍّ أَمِيْنٍ إِنْ خِيفَ عَلَى أَخْذِهِ وَلَوْ لَمْ يُهْدَمْ فَإِنْ لَمْ يُرْجَ عَوْدُهُ بُنِيَ بِهِ مَسْجِدٌ آخَرُ لاَ نَحْوُ مَدْرَسَةٍ وَكَوْنُهُ بِقُرْبِهِ أَوْلَى فَإِنْ تَعَذَّرَ الْمَسْجِدُ بُنِيَ بِهِ غَيْرُهُ وَأَمَّا غَلَّتُهُ الَّتِيْ لَيْسَتْ ِلأَرْبَابِ الْوَظَائِفِ وَحُصُرُهُ وَقَنَادِيْلُهُ فَكَنَقْضِهِ وَإِلاَّ فَهِيَ ِلأَرْبَابِهَا وَإِنْ تَعَذَّرَتْ لِعَدَمِ تَقْصِيرِهِمْ اهـ

_____________

مواهب الفضال بفتوى بافضال الجزء 1 صحـ : 228
وَسُئِلَ الْعَلاَّمَةُ الشَّيْخُ أَبُوْ بَكَرِ ابْنُ أَحْمَدَ الْخَطِيْبُ مُفْتِيْ تَرِيْم عَمَّا بَقِيَ فَتَاتُ النَّوْرَةِ وَالطِّيْنِ وَاْلأَخْشَابِ بَعْدَ الْهَدْمِ فَأَجَابَ بِجَوَابٍ طَوِيْلٍ مَالَ بِهِ إِلَى جَوَازِ بَيْعِهَا إِذَا لَمْ تَظْهَرْ حَاجَةٌ لَهَا لِلْمَسْجِدِ الْمَذْكُوْرِ وَلَوْ فِي الْمُسْتَقْبَلِ وَخِيْفَ ضِيَاعَهُ أَوْ أَخَذَ ظَالِمٌ أَوْ غَاصِبٌ لَهَا عَمَّا إِذَا لَمْ يُخْشَ شَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ فَتُحْفَظُ إِلَى آخِرِمَا أَطَالَ بِهِ رَحِمَ اللهُ اهـ نَصُّ الْوَارِدِ فِيْ حُكْمِ تَجْدِيْدِ الْمَسْجِدِ لِلْعَلاَّمَةِ عَلَوِي ابْنِ عَبْدِ اللهِ ابْنِ حُسَيْنٍ –

إلى أن قال-
ثُمَّ اخْتَلَفُوْا فِيْ جَوَازِ بَيْعِهِ وَصَرْفِ ثَمَنِهِ فِيْ مِثْلِهِ وَإِنْ كَانَ مَسْجِدًا فَقَالَ الْمَالِكُ وَالشَّافِعِيُّ يَبْقَى عَلَى حَالِهِ وَلاَ يُبَاعُ وَقَالَ أَحْمَدُ يَجُوْزُ بَيْعُهُ وَصَرْفُ ثَمَنِهِ فِيْ مِثْلِهِ وَكَذَلِكَ فِي الْمَسْجِدِ إِذَا كَانَ لاَيُرْجَى عَوْدُهُ وَلَيْسَ عِنْدَ أَبِيْ حَنِيْفَةَ نَصٌّ فِيْهَا اهـ
___________

 

📗Al Qulyubi Juz : 3 Hal : 108
( “قليوبي” جزأ الثالث ص 108:)
(والأصح جواز بيع حصر المسجد) الموقوفة (إذا بليت وجفوا عنه إذا انكسرت، ولم تصلح إلا للإحراق) قوله: (ولم تصلح) أي الحصر والجذوع إلا للإحراق دخل في المستثنى منه، ما لو صلحت لخلط طين، ولو بنشرها أو لجعلها في بناء بدل الآجر، أو السقف أو نحو ذلك فلا تباع كما مر ومثل حصر المسجد وجذوعه غيرها من الموقوفات على المعتمد كما علم.

📗(Fathul Wahab Juz : 1 Hal ;259)
“فتح الوهاب” جزأ الأول ص 259:                                                                  
(ولا يباع موقوف وإن خرب) كشجرة جفت ومسجد انهدم وتعذرت إعادته وحصره الموقوفة البالية وجذوعه المنكسرة إدامة للوقف في عينه ولأنه يمكن الانتفاع به كصلاة واعتكاف في أرض المسجد وطبخ جص أو آجر له بحصره وجذوعه وما ذكرته فيهما بصفتهما المذكورة هو ما اقتضاه كلام الجمهور وصرح به الجرجاني والبغوي والروياني وغيرهم وبه أفتيت وصحح الشيخان تبعا للإمام أنه يجوز بيعهما لئلا يضيعا ويشتري بثمنهما مثلهما والقول به يؤدي إلى موافقة القائلين بالاستبدال.

📗الميزان الكبرى الجزأ الاول ص : 228
وسئل العلامة الشيخ أبو بكر ابن احمد الخطيب مفتي تريم , عما بقي فتات النورة والطين والاخشاب بعد الهدم , فأجاب بجواب طويل مال به الى جواز بيعها اذا لم تظهر حاجة لها للمسجد المذكور ولو في المستقبل وخيف ضياعه او اخذ ظالم او غاصب لها , أما اذا لم يخش شيئ من ذلك فتحفظ .

📗روضة الطالبين . الجزء 5. صفحة  357. مكتبة الشاملة
فرع حصر المسجد إذا بليت ونحاتة أخشابق إذا نخزت وأستار الكعبة إذا لم يبق فيها منفعة ولا جمال في جواز بيعها وجهان  أصحهما تباع لئلا تضيع وتضيق المكان بلا فائدة  والثاني لا تباع بل تترك بحالها أبدا  وعلى الأول قالوا يصرف ثمنها في مصالح المسجد  والقياس أن يشترى بثمن الحصير حصير ولا يصرف في مصلحة أخرى ويشبه أن يكون هو المراد باطلاقهم .

📗.تحفة المحتاج في شرح المنهاج وحواشي الشرواني والعبادي (6/ 282)
وَالْأَصَحُّ جَوَازُ بَيْعِ حُصْرِ الْمَسْجِدِ إذَا بَلِيَتْ وَجُذُوعِهِ إذَا انْكَسَرَتْ) ، أَوْ أَشْرَفَتْ عَلَى الِانْكِسَارِ (وَلَمْ تَصْلُحْ إلَّا لِلْإِحْرَاقِ) لِئَلَّا تَضِيعَ فَتَحْصِيلُ يَسِيرٍ مِنْ ثَمَنِهَا يَعُودُ عَلَى الْوَقْفِ أَوْلَى مِنْ ضَيَاعِهَا وَاسْتُثْنِيَتْ مِنْ بَيْعِ الْوَقْفِ؛ لِأَنَّهَا صَارَتْ كَالْمَعْدُومَةِ وَيُصْرَفُ ثَمَنُهَا لِمَصَالِحِ الْمَسْجِدِ إنْ لَمْ يَكُنْ شِرَاءَ حَصِيرٍ أَوْ جُذُوعٍ بِهِ وَأَطَالَ جَمْعٌ فِي الِانْتِصَارِ لِلْمُقَابِلِ أَنَّهَا تَبْقَى أَبَدًا نَقْلًا وَمَعْنًى، وَالْخِلَافُ فِي الْمَوْقُوفَةِ وَلَوْ بِأَنْ اشْتَرَاهَا النَّاظِرُ وَوَقَفَهَا بِخِلَافِ الْمَمْلُوكَةِ لِلْمَسْجِدِ بِنَحْوِ شِرَاءِ فَإِنَّهَا تُبَاعُ جَزْمًا

📗حاشية الجمل على شرح المنهج = فتوحات الوهاب بتوضيح شرح منهج الطلاب (3/ 590)
(وَلَا يُبَاعُ مَوْقُوفٌ وَإِنْ خَرِبَ) كَشَجَرَةٍ جَفَّتْ وَمَسْجِدٍ انْهَدَمَ وَتَعَذَّرَتْ إعَادَتُهُ وَحُصُرِهِ الْمَوْقُوفَةِ الْبَالِيَةِ وَجُذُوعِهِ الْمُنْكَسِرَةِ إدَامَةً لِلْوَقْفِ فِي عَيْنِهِ وَلِأَنَّهُ يُمْكِنُ الِانْتِفَاعُ بِهِ كَصَلَاةٍ وَاعْتِكَافٍ فِي أَرْضِ الْمَسْجِدِ وَطَبْخِ جِصٍّ أَوْ آجُرٍّ لَهُ بِحُصُرِهِ وَجُذُوعِهِ وَمَا ذَكَرْته فِيهِمَا بِصِفَتِهِمَا الْمَذْكُورَةِ هُوَ مَا اقْتَضَاهُ كَلَامُ الْجُمْهُورِ وَصَرَّحَ بِهِ الْجُرْجَانِيُّ وَالْبَغَوِيُّ وَالرُّويَانِيُّ وَغَيْرُهُمْ وَبِهِ أَفْتَيْت وَصَحَّحَ الشَّيْخَانِ تَبَعًا لِلْإِمَامِ أَنَّهُ يَجُوزُ بَيْعُهُمَا لِئَلَّا يَضِيعَا وَيَشْتَرِيَ بِثَمَنِهِمَا مِثْلُهُمَا وَالْقَوْلُ بِهِ يُؤَدِّي إلَى مُوَافَقَةِ الْقَائِلِينَ بِالِاسْتِبْدَالِ أَمَّا الْحُصُرُ الْمَوْهُوبَةُ أَوْ الْمُشْتَرَاةُ لِلْمَسْجِدِ مِنْ غَيْرِ وَقْفٍ لَهَا فَتُبَاعُ لِلْحَاجَةِ، وَغَلَّةُ وَقْفِهِ عِنْدَ تَعَذُّرِ إعَادَتِهِ. قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ تُصْرَفُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْمُتَوَلِّي لِأَقْرَبِ الْمَسَاجِدِ إلَيْهِ وَالرُّويَانِيُّ هِيَ كَمُنْقَطِعِ الْآخِرِ وَالْإِمَامُ تُحْفَظُ لِتَوَقُّعِ عَوْدِهِ وَتَعْبِيرِي بِمَا ذُكِرَ أَوْلَى مِمَّا عَبَّرَ بِهِ.

➖➖➖➖➖➖➖➖➖
(IBAROH SUB B dan C:)
Kitab Raddul Mukhtar juz III halaman 512:
اَرَادَ اَهْلُ الْمَحَلَّةِ نَقْضَ الْمَسْجِدِ وَبِنَاءَهُ اَحْكَمَ مِنَ الاَوَّلِ ، إِنِ الْبَانِى مِنْ اَهْلَ الْمَحَلَّةِ لَهُمْ ذلِكَ ، وإِلاَّ فَلاَ .

Kitab Syarhul Kabir juz III halaman 420:
فَاِنْ تَعَطَّلَتْ مَنَافِعُهُ بِالْكُلِّيَّةِ كَدَارٍ اِنْهَدَمَتْ اَوْ اَرْضٍ خَرَبَتْ وَعَادَتْ مَوَاتًا لَمْ يُمْكِنْ عِمَارَتُهَا اَوْ مَسْجِدٍ اِنْتَقَلَ اَهْلُ الْقَرْيَةِ عَنْهُ وَصَارَ فِى مَوْضِعٍ لاَ يُصَلَّى فِيْهِ اَوْ ضَاقَ بِاَهْلِهِ وَلَمْ يُمْكِنْ تَوْسِيْعُهُ فِى مَوْضِعِهِ ، فَاِنْ اَمْكَنَ بَيْعُ بَعْضِهِ لِيُعَمَّرَ بَقِيَّتُهُ جَازَ بَيْعُ الْبَعْضِ وَاِنْ لَمْ يُمْكِنِ الإِنْتِفَاعُ بِشَيْءٍ مِنْهُ بِيْعَ جَمِيْعُهُ .

➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖
(Ibaroh sub D & E )

Kitab I'aanatut Thaalibiin juz III halaman 181:
وَلاَ يَنْقُضُ الْمَسْجِدُ اَيِ الْمُنْهَدِمُ الْمُتَقَدِّمُ ذِكْرُهُ فِى قَوْلِهِ " فَلَوِ انْهَدَمَ مَسْجِدٌ " ، وَمِثْلُ الْمُنْهَدِمِ اَلْمُتَطِّلُ . ( وَالْحَاصِلُ ) اَنَّ هذَا الْمَسْجِدَ الَّذِى انْهَدَمَ اَىْ اَوْ تَعَطَّلَ بِتَعْطِيْلِ اَهْلِ الْبَلَدِ لَهُ كَمَا مَرَّ لاَ يُنْقَضُ اَىْ لاَ يُبْطَلُ بِنَاؤُهُ بِحَيْثُ يُتَمَّمُ هَدْمُهُ فِىْ صُوْرَةِ الْمَسْجِدِ الْمُنْهَدِمِ اَوْ يُهْدَمُ مِنْ اَصْلِهِ فِى صُوْرَةِ الْمُتَعَطَّلِ ؛ بَلْ يَبْقَى عَلَى حَالِهِ مِنَ الاِنْهِدَامِ اَوْ التَّعْطِيْلِ . وَذلِكَ لإِمْكَانِ الصَّلاَةِ فِيْهِ وَهُوَ بِهذِهِ الْحَالَةِ وَلإِمْكَانِ عَوْدِهِ كَمَا كَانَ .

Kitab As Syarqawi juz II halaman 178:
وَلاَ يَجُوْزُ اسْتِبْدَالُ الْمَوْقُوْفِ عِنْدَنَا وَاِنْ خَرَبَ ، خِلاَفًا لِلْحَنَفِيَّةِ . وَصُوْرَتُهُ عِنْدَهُ اَنْ يَكُوْنَ الْمَحَلُّ قَدْ آلَ اِلَى السُّقُوْطِ فَيُبْدَلُ بِمَحَلٍّ آخَرَ اَحْسَنَ مِنْهُ بَعْدَ حُكْمِ حَاكِمٍ يَرَى صِحَّتَهُ .

Wallahu a'lam bish_showab
diskusihukumfiqh212.blogspot.com
hikmahdhf.blogspot.com