Jumat, 30 Maret 2018

HUKUM ZAKAT PROFESI

KESIMPULAN TEAM MUSYAWWIRIN DHF
HUKUM ZAKAT PROFESI
====================
PERTANYAAN:

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Mau tanya ust, bagaimana hukum zakat profesi atau zakat gaji? Terimakasih

Jawab:

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته

👉Divinisi zakat profesi menurut ulama' mutakhiriin:

Menurut bahasa zakat profesi dikenal dengan istilahزكاة روا تب المو ظفين (zakat gaji pegawai) atauزكاة كسب الاعمال والمهن الحرة (zakat pekerja dan profesi swasta).

Menurut istilah Zakat profesi adalah Zakat yang dikeluarkan pada tiap pekerjaan atau keahlian propesional  ketentuan, baik yang dilakukan sendiri maupun bersama orang/lembaga lain, yang mendatangkan penghasilan (Money) yang memenuhi Nishab (batas minimal).

________________
📄📄📄📄📄📄📄📄📄📄📄📄📄
Terkait zakat profesi, memang terdapat perbedaan pendapat.

Menurut ulama' kholaf dari kalangan madzhab 4, tidak wajib zakat profesi.

Begitupula pendapat ulama' mutaakhirin:
syaikh Wahbah al-Zuhaily ( dari madzhab Syafi’i ) profesi tidak wajib zakat karena tidak ada nash.


✍Sedangkan menurut sebagian ulma' mutaakhirin hukum nya wajib zakat.

Seperti imam Qordlowi ( dari madzhab Hanafi ) profesi wajib zakat karena harta kekayaan wajib dizakati.

📰✍Para peserta Muktamar Internasional pertama tentang Zakat di Kuwait, 29 Rajab 1404 H/30 April 1984 M, sepakat tentang wajibnya Zakat Profesi bila telah mencapai nisab meskipun mereka berbeda pendapat dalam cara mengeluarkannya.

🔴Menurut Majelis Tarjih  Muhammadiyah zakat profesi adalah wajib.

Nott:
🔴Bagi pendapat yang mewajibkan, zakat profesi dikategorikan sebagai al-mal al-mustafad yang mana bila telah memenuhi ketentuan satu nishab dan satu haul wajib dikeluarkan. Dasar yang digunakan oleh pendapat ini adalah pendapat sebagian shahabat seperti Ibnu Abas, Ibnu Mas'ud, dan tabi'in seperti Al Zuhry, Hasan Basri dan Makhul.







🔵PERTIMBANGAN ULAMA' MUTAAKHIRIIN (yang menghukumi wajib.

1.  zakat profesi hukumnya wajib berdasarkan  keumuman ayat 267 surat al Baqarah.

2.  zakat profesi memiliki kemiripan dengan zakat pertanian dari aspek waktu penerimaan gaji dan dengan naqdain (emas dan perak) dari aspek harta yang diterima.

3.  Nishab zakat pertanian adalah 5 wasaq yaitu setara dengan 652, 8 kg beras atau senilai Rp 3.265.000 (dengan standar harga beras Rp.5000/kg).

4. Nishab naqdain adalah 20 dinar setara dengan 85 gr atau senilai Rp 17.000.000 (dengan standar harga emas Rp 200.000/gr)

5.  Untuk menentukan  nishob dan miqdar zakat profesi ditetapkan berdasarkan qiyas. f. terdapat pilihan qiyas di antara 3 (tiga) jenis qiyas, yaitu: qiyas íllah, qiyas dilalah dan qiyas syabah.

6.  Qiyas íllah tidak dapat diterapkan karena íllah zakat  profesi tidak dinyatakan dengan nash.

7. Memilih qiyas dilalah relatif lebih mudah dipahami dibanding dengan qiyas syabah tetapi qiyas syabah pun diakui sebagai rujukan dalam istinbath di kalangan ulama ada yang menggunakan qiyas sabah..

Landasan berdasarkan Al-Qur’an

(Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian dari hasil usahamu).
“Dan pada harta-harta mereka, ada hak untuk orang miskin yang meminta, dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.”

Landasan berdasarkan Atsar

✍Para Shabat mengeluarkan Zakat untuk Maal Mustafad (Harta Perolehan). Zakat Al-Mal Al-Mustafad  adalah harta yang diperoleh seorang Muslim melalui salah satu cara kepemilikan yang di syariatkan seperti : Waris, Hibah, Upah Pekerjaan dsb.


📃📃📃📃📃📃📃📃📃📃📃📃📃📃📃📃
👉IJTIHAD ULAMA' MUTA,KHIRIN TERKAIT ZAKAT PROFESI:

ijtihad yang dilakukan Syaikh Muhammad al-Ghazali bahwa orang yang bekerja dengan penghasilan yang melebihi petani wajib mengeluarkan zakat penghasilannya. Ini berarti, zakatnya gaji diqiyaskan dengan zakatnya pertanian.

“Sesungguhnya orang yang pemasukkannya tidak kurang dari petani yang diwajibkan zakat, maka ia wajib mengeluarkan zakat. Karenanya, dokter, pengacara, insinyur, pengrajin, para pekerja professional, karyawan, dan sejenisnya, wajib zakat atas mereka. Dan zakatnya harus dikeluarkan dari pendapatan mereka yang besar”.
Sumber:
(Muhammad al-Ghazali, al-Islam wa Audla’una al-Iqtishadiyyah, )

👉Pandangan ini setidaknya didasari atas dua alasan.

✍Pertama adalah keumumam firman Allah swt:

“Hai orang-orang yang beriman nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 267)

✍Kedua, secara rasional, Islam telah mewajibkan zakat atas petani. Jika petani saja yang penghasilannya lebih rendah dari mereka diwajibkan zakat, apalagi mereka yang penghasilannya lebih tinggi dari petani.

✍Sedangkan Dr. Yusuf al-Qardlawi sampai pada kesimpulan bahwa gaji atau pendapatan yang diterima dari setiap pekerjaan atau keahlian profesional tertentu yang halal wajib dizakati. Hal ini disamakan dengan zakat al-mal al-mustafad (harta yang diperoleh seorang muslim melalui satu jenis proses kepemilikan yang baru dan halal).

“Zakat diambil dari gaji atau sejenisnya. Sedang cantolan fiqhnya yang sahih terhadap penghasilan ini adalah mal mustafad (harta perolehan)”

🌼Sumber:
(Yusuf al-Qaradlawi, Fiqh az-Zakat, Bairut-Mu`assah ar-Risalah, cet ke-3, 1393 H/1983 M, juz, 1, h. 490)

✍Sedangkan mengenai nishab gaji adalah sama dengan nishabnya uang. Demikian ini karena banyak orang yang memperoleh gaji dan pendapatan dalam bentuk uang, karenanya yang paling baik adalah menentapkan nishab gaji berdasarkan nishab uang yang setara dengan nilai 85 gram emas.

🌺Dan zakat tersebut diambil dari gaji atau pendapat bersih. Dalam soal zakat gaji tidak disyaratkan adanya haul, tetapi zakatnya harus ditunaikan ketika gaji itu diterima sebesar 2,5 %.

“Yang paling utama dari semua itu adalah bahwa nishab uang merupakan yang mu’tabar (yang dijadikan patokan) dalam konteks ini (nishab gaji atau pendapatan). Dan kami telah menentukan nilainya setara dengan nilai 85 gram emas…..Dan ketika kami telah memilih pendapat (yang mewajibkan) zakar gaji, upah dan sejenisnya, maka pendapat yang kami kuatkan adalah bahwa zakatnya tidak diambil kecuali dari pendapatan bersih…. Maka pendapat yang saya pilih bahwa harta perolehan seperti gaji pegawai, gaji karyawan, insyinyur, dokter, pengacara dan yang lainnya yang mengerjakan profesi tertentu dan juga seperti pendapatan yang diperoleh modal yang investasikan di luar sektor perdangan seperti kendaraan, kapal laut, kapal terbang, percetakan, perhotelan, tempat hiburan dan yang lain, itu tidak disyaratkan bagi kewajiabn zakatnya adanya haul, tetapi zakat dikeluarkan ketika ia menerimanya (gaji)”
🏵Sumber:
(Yusuf al-Qaradlawi, Fiqh az-Zakat, Bairut-Mu’assah ar-Risalah, cet ke-3, 1393 H/1983 M, juz, 1, h. 513, 517, 505)

👉Kenyataan yang ada para pemerintah dan perusahaan mengatur gaji pegawainya beradasarkan ukuran tahun, meskipun dibayarkan perbulan karena kebutuhan pegawai yang mendesak. Berdasarkan hal itu zakat penghasilan bersih seorang pegawai dan golongan profesi dapat diambil dalam setahun penuh, jika pendapatan bersih mencapai satu nishab.

🌺Dari penjelasan di atas setidak dapat ditarik gambaran sebagai berikut.

Jika pendapatan bersih seorang pekerja selama setahun seperti dokter atau karyawan sebuah perusahaan atau pegawai pemerintahan mencapai nishab yang telah ditentukan maka ia wajib mengeluarkan zakatnya.

Sedang zakatnya dikeluarkan ketika menerima pendapatan tersebut. Contohnya jika seseorang selama setahun memperoleh pendapatan bersih sekitar 48 juta, dengan asumsi ia menerima pendapatan bersih setiap bulan 4 juta.

Maka ia harus mengeluarkan zakat setiap bulannya 2,5 % dari 4 juta tersebut, yaitu sebesar 100 ribu. Jadi selama setahun ia mengeluarkan zakat sebesar 1,2 juta.

👉Selanjutnya mengenai zakat gaji tersebut bisa langsung diberikan kepada golongan yang berhak menerima zakat sebagaimana firman Allah swt:

“Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah bagi orang-orang fakir, orang-orang miskin, amil-amil zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (Q.S. At-Taubah [9]: 60

🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸

✅CARA MENGELUARKAN ZAKAT PROFESI:

Jika kita mengikuti pendapat ulama yang mewajibkan zakat penghasilan, lalu bagaimana cara mengeluarkannya? Dikeluarkan penghasilan kotor  (bruto) atau penghasilan bersih (neto)? Ada tiga wacana tentang bruto atau neto seperti berikut ini.

🔴Dalam buku Fiqh Zakat karya DR Yusuf Qaradlawi. bab zakat profesi dan penghasilan,  dijelaskan tentang cara mengeluarkan zakat penghasilan. Kalau kita klasifikasi ada tiga wacana:

1. Pengeluaran bruto, yaitu mengeluarkan zakat penghasilan kotor. Artinya, zakat penghasilan yang mencapai nisab 85 gr emas dalam jumlah setahun, dikeluarkan 2,5 % langsung ketika menerima sebelum dikurangi apapun.

Jadi kalau dapat gaji atau honor dan penghasilan lainnya dalam sebulan mencapai 2 juta rupiah x 12 bulan = 24 juta, berarti dikeluarkan langsung 2,5 dari 2 juta tiap bulan = 50 ribu atau dibayar di akhir tahun = 600 ribu.

Hal ini juga berdasarkan pendapat Az-Zuhri dan ‘Auza’i, beliau menjelaskan: “Bila seorang memperoleh penghasilan dan ingin membelanjakannya sebelum bulan wajib zakat datang, maka hendaknya ia segera mengeluarkan zakat itu terlebih dahulu dari membelanjakannya” (Ibnu Abi Syaibah, Al-mushannif, 4/30).

Dan juga menqiyaskan dengan  beberapa harta zakat yang langsung dikeluarkan tanpa dikurangi apapun, seperti zakat ternak, emas perak, ma’dzan dan rikaz.

______________
2. Dipotong oprasional kerja, yaitu setelah menerima penghasilan gaji atau honor yang mencapai nisab, maka dipotong dahulu dengan biaya oprasional kerja. Contohnya, seorang yang mendapat gaji 2 juta  rupiah sebulan, dikurangi biaya transport dan konsumsi harian di tempat kerja sebanyak 500 ribu, sisanya 1.500.000. maka zakatnya dikeluarkan 2,5 dari 1.500.000= 37.500,-

Hal ini dianalogikan dengan zakat hasil bumi dan kurma serta sejenisnya. Bahwa biaya dikeluarkan lebih dahulu baru zakat dikeluarkan dari sisanya. Itu adalah pendapat Imam Atho’ dan lain-lain.

Dari zakat hasil bumi ada perbedaan prosentase zakat antara yang diairi dengan hujan yaitu 10%  dan melalui irigasi 5%.

____________________
3. Pengeluaran neto atau zakat bersih, yaitu mengeluarkan zakat dari harta yang masih mencapai nisab setelah dikurangi untuk kebutuhan pokok sehari-hari, baik pangan, papan, hutang dan kebutuhan pokok lainnya untuk keperluan dirinya, keluarga dan yang menjadi tanggungannya.

Jika penghasilan setelah dikurangi kebutuhan pokok masih mencapai nisab, maka wajib zakat, akan tetapi kalau tidak mencapai nisab tidak wajib zakat, karena dia bukan termasuk muzakki (orang yang wajib zakat) bahkan menjadi mustahiq (orang yang berhak menerima zakat) karena sudah menjadi miskin dengan tidak cukupnya penghasilan terhadap kebutuhan pokok sehari-hari.

Hal ini berdasarkan hadits riwayat imam Al-Bukhari dari Hakim bin Hizam bahwa Rasulullah SAW bersabda: “…. dan paling baiknya zakat itu dikeluarkan dari kelebihan kebutuhan…”.

Kesimpulan, seorang yang mendapatkan penghasilan halal dan mencapai nishab (85 gr emas) wajib mengeluarkan zakat 2,5 %, boleh dikeluarkan setiap bulan atau di akhir tahun. Sebaiknya zakat dikeluarkan dari penghasilan kotor sebelum dikurangi kebutuhan yang lain.

Ini lebih afdlal (utama) karena khawatir ada harta yang wajib zakat tapi tidak dizakati, tentu akan mendapatkan adzab Allah baik di dunia dan di akhirat. Juga penjelasan Ibnu Rusd bahwa zakat itu ta’bbudi (pengabdian kepada Allah SWT) bukan hanya sekedar hak mustahiq.

🔴Tapi ada juga sebagian pendapat ulama membolehkan sebelum dikeluarkan zakat dikurangi dahulu biaya oprasional kerja atau kebutuhan pokok sehari-hari.


______________________________
📚REFERENSI:

👉Q.S. Adt-Dzariyat (51) : 19
📔وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُوم


👉Q.S. Al-Baqarah (2) : 267
📔يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ


📔محمد الغزالي، الإسلام وأوضاعنا الإقتصادية، مصر-دار النهضة، الطبعة الأولى، ج، 1، ص. 118
إن مَنْ دَخْلُهُ لَا يَقِلُّ عَنْ دَخْلِ الْفَلَّاحِ الَّذِي تَجِبُ عَلَيْهِ الزَّكَاةُ يَجِبُ أَنْ يُخْرِجَ زَكَاةً؛ فَالطَّبِيْبُ، وَالْمَحَامِي، وَالْمُهَنْدِسُ، وَالصَّانِعُ، وَطَوَائِفُ الْمُحْتَرِفِيْنَ وَالْمُوَظَّفِيْنَ وَأَشْبَاهُهُمْ تَجِبُ عَلَيْهِمُ الزَّكَاةُ، وَلَابُدَّ أَنْ تُخْرَجَ مِنْ دَخْلِهِمْ الكَبِيْرِ --

📔  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَنفِقُواْ مِن طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ -- البقرة:267

📔إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ--التوبة: 60

📔يوسف القرضاوي، فقه الزكاة، بيروت-مؤسسة الرسالة، ط، 3، 1393هـ/1983 م، ج، 1، ص. 490
فَالتَّكْيِيْفُ الفِقْهِيُّ الصَّحِيْحُ لِهَذَا الْكَسْبِ أَنَّهُ مَالٌ مُسْتَفَادٌ --

📔((يوسف القرضاوي، فقه الزكاة، بيروت-مؤسسة الرسالة، ط، 3، 1393هـ/1983 م، ج، 1، ص. 513، 517، 505)
وَأَوْلَى مِنْ ذَلِكَ أَنْ يَكُونَ نِصَابُ النُّقُودِ هُوَ الْمُعْتَبَرُ هُنَا, وَقَدْ حَدَّدْنَاهُ بِمَا قِيْمَتُهُ 85 جِرَامًا مِنَ الذَّهَبِ...وَإِذَا كُنَّا قَدِ اخْتَرْنَا القَوْلَ بِزَكَاةِ الرَّوَاتِبِ وَالأُجُورِ وَنَحْوِهَا فَالَّذِي نُرَجِّحُهُ أَلَّا تُأْخَذَ الزَّكَاةُ إِلَّا مِنَ "الصَّافِي" ... فَالَّذِي إِخْتَارَهُ أَنَّ الْمَالَ الْمُسْتَفَادَ كَرَاتِبِ الْمُوَظَّفَ وَأَجْرِ الْعَامِلِ وَالْمُهَنْدِسِ وَدَخْلِ الطَّبِيبِ وَالْمَحَامِي وَغَيْرِهِمْ مِنْ ذَوِي الْمِهَنِ الْحُرَّةِ وَكَإِيرَادِ رَأْسِ الْمَالِ الْمُسْتَغَلِ فِى غَيْرِ التِّجَارَةِ كَالسَّيَّارَاتِ وَالسُّفُنِ وَالطَّائِرَاتِ وَالْمَطَابِعِ وَالْفَنَادِقِ وَدُوَرِ الْلَهْوِ وَنَحْوِهَا لَا يُشْتَرَطُ لِوُجُوبِ الزَّكَاةِ فِيْهِ مُرُورُ حَوْلٍ بَلْ يُزَكِّيهِ حِيْنَ يَقْبِضُهُ



📚الفقه الإسلامي وأدلته - (ج 3 / ص 294 (مكتبة الشاملة
📔المطلب الثاني ـ زكاة كسب العمل والمهن الحرة :العمل: إما حر غير مرتبط بالدولة كعمل الطبيب والمهندس والمحامي والخياط والنجار وغيرهم من أصحاب المهن الحرة. وإما مقيد مرتبط بوظيفة تابعة للدولة أو نحوها من المؤسسات والشركات العامة أو الخاصة، فيعطى الموظف راتباً شهرياً كما هو معروف. والدخل الذي يكسبه كل من صاحب العمل الحر أو الموظف ينطبق عليه فقهاً وصف «المال المستفاد» (3(  والمقرر في المذاهب الأربعة أنه لا زكاة في المال المستفاد حتى يبلغ نصاباً ويتم حولاً، ويزكى في رأي غير الشافعية المال المدخر كله ولو من آخر لحظة قبل انتهاء الحول بعد توفر أصل النصاب. ويمكن القول بوجوب الزكاة في المال المستفاد بمجرد قبضه، ولو لم يمض عليه حول، أخذاً برأي بعض الصحابة (ابن عباس وابن مسعود ومعاوية) وبعض التابعين (الزهري والحسن البصري ومكحول) ورأي عمر بن عبد العزيز، والباقر والصادق والناصر، وداود الظاهري. ومقدار الواجب: هو ربع العشر، عملاً بعموم النصوص التي أوجبت الزكاة في النقود وهي ربع العشر، سواء حال عليها الحول، أم كانت مستفادة. وإذا زكى المسلم كسب العمل أو المهنة عند استفادته أو قبضه لايزكيه مرة أخرى عند انتهاء الحول. وبذلك يتساوى أصحاب الدخل المتعاقب مع الفلاح الذي تجب عليه زكاة الزروع والثمار بمجرد الحصاد والدياس.

فقه الزكاة - يوسف القرضاوي - (ج 1 / ص 423) مكتبة الشاملة
📔الرَّوَاتِبُ وَالأُجُوْرُ مَالٌ مُسْتَفَادٌ وَالنَّتِيْجَةُ مِنْ هَذَا التَّخْرِيْجِ - عَلَى مَا فِيْهِ (أقْرَبُ اعْتِرَاضٍ عَلَيْهِ مَا يَقُوْلُهُ كَثِيْرٌ مِنَ الْمُوَظِّفِيْنَ مِنْ إنْفَاقِ رَوَاتِبِهِمْ بَعْدَ أيَّامٍ مِنْ قَبْضِهَا إلىَ حَدِّ الاِقْتِرَاضِ وَهَذَا يَقْطَعُ الْحَوْلَ بِالإجْمَاعِ) - أنْ تُؤْخَذَ الزَّكَاةُ مِنَ الرواتِبِ وَنَحْوِهَا عَنْ شَهْرٍ وَاحِدٍ مِنِ اثْنَىْ عَشَرَ شَهْرًا ؛ لأنَّ الَّذِي يُخْضَعُ لِلزَّكاةِ هُوَ النِّصَابُ الثَّابِتُ فيِ أَوَّلِ الْحَوْلِ وَأَخِرِهِ. وَالْعُجْبُ أنْ يقولَ الأَسَاتِذَةُ عَنْ كَسْبِ الْعَمَلِ وَالْمِهَنِ وَمَا يَجْلِبُهُ مِنْ رَواتِبٍ وَإيْرَادٍ : إنَّهُمْ لاَ يَعْرِفُونَ لَهُ نَظِيرًا فيِ الْفِقْهِ إلاَّ فِيْمَا رُوِىَ عَنْ أحْمَدَ فيِ أُجْرَةِ الدَّارِ ؛ هَذاَ مَعَ أنَّ أقْرَبَ شَيْءٍ يُذْكَرُ هُنَا هُوَ "الْمَالُ الْمُسْتَفَادُ" وَهُوَ مَا يَسْتَفِيْدُهُ الْمُسْلِمُ وَيَمْلِكُهُ مِلْكًا جَدِيدًا بِأَيِّ وَسِيْلَةٍ مِنْ وَسَائِلِ التَّمَلُّكِ الْمَشْرُوعِ ؛ فَالتَّكْيِيْفُ الْفِقْهِي الصَّحِيْحُ لِهَذَا الْكَسْبِ: أنَّهُ مَالُ مُسْتَفادٌ. وَقَدْ ذَهَبَ إلىَ وُجُوْبِ تَزْكِيَتِهِ فيِ الْحَالِ جَمَاعَةٌ مِنَ الصَّحَابَةِ وَمَنْ بَعْدَهُمْ دُوْنَ اشْتِرَاطِ حَوْلٍ ؛ وَإلىَ ذَلِكَ ذََهَبَ ابن عباس وابن مسعود وَمُعَاوِيَة واَلصَّادِقُ وَالْبَاقِرُ والناصِرُ ودَاوُدُ، وَرُوِىَ عَنْ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ العزيز وَالْحَسَنِ وَالزُّهْرِي والأَوْزَاعِي.


المحلى - (ج 6 / ص 84) مكتبة الشاملة
📔وقال أبو حنيفة: لاَ يُزَكَّى الْمَالُ الْمُسْتَفَادُ إلاَّ حَتَّى يُتِمَّ حَوْلاً إلاَّ إنْ كَانَ عِنْدَهُ مَالٌ يَجِبُ فِي عَدَدِ مَا عِنْدَهُ مِنْهُ الزَّكَاةُ فِي أَوَّلِ الْحَوْلِ: فَإِنَّهُ إنْ اكْتَسَبَ بَعْدَ ذَلِكَ لَوْ قَبْلَ تَمَامِ الْحَوْلِ بِسَاعَةٍ شَيْئًا قَلَّ أَوْ كَثُرَ مِنْ جِنْسِ مَا عِنْدَهُ: فَإِنَّهُ يُزَكِّي الْمُكْتَسَبَ مَعَ الأَصْلِ, سَوَاءٌ عِنْدَهُ الذَّهَبُ, وَالْفِضَّةُ, وَالْمَاشِيَةُ, وَالأَوْلاَدُ, وَغَيْرُهَا.وقال مالك: لاَ يُزَكَّى الْمَالُ الْمُسْتَفَادُ إلاَّ حَتَّى يُتِمَّ حَوْلاً, وَسَوَاءٌ كَانَ عِنْدَهُ مَا فِيهِ الزَّكَاةُ مِنْ جِنْسِهِ أَوْ لَمْ يَكُنْ, إلاَّ الْمَاشِيَةَ; فَإِنَّ مَنْ اسْتَفَادَ مِنْهَا شَيْئًا بِغَيْرِ وِلاَدَةٍ مِنْهَا, فَإِنْ كَانَ الَّذِي عِنْدَهُ مِنْهَا نِصَابًا: زَكَّى الْجَمِيعَ عِنْدَ تَمَامِ الْحَوْلِ, وَإِلاَّ فَلاَ, وَإِنْ كَانَتْ مِنْ وِلاَدَةٍ زَكَّى الْجَمِيعَ بِحَوْلِ الآُمَّهَاتِ1 سَوَاءٌ كَانَتْ الآُمَّهَاتُ نِصَابًا أَوْ لَمْ تَكُنْ. وقال الشافعي: لاَ يُزَكَّى مَالٌ مُسْتَفَادٌ مَعَ نِصَابٍ كَانَ عِنْدَ الَّذِي اسْتَفَادَهُ مِنْ جِنْسِهِ أَلْبَتَّةَ, إلاَّ أَوْلاَدَ الْمَاشِيَةِ مَعَ أُمَّهَاتِهَا فَقَطْ إذَا كَانَتْ الآُمَّهَاتُ نِصَابًا وَإِلاَّ فَلاَ.

________________________

🔴Catatan kaki:
Sumber rujukan
(1)Ibn Rusyd. Bidâyat al-Mujtaahid, jilid 1 (t.t. Mustafa babi halabi, 1379 H- 1960 M ), 252-253.

[2] Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqh az-Zakah, I/497; Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, II/865; Ali as-Salus, Mausu’ah al-Qadhaya al-Fiqhiyah al-Mu’ashirah, hal. 522; Al-Yazid Ar-Radhi, Zakah Rawatib Al-Muwazhaffin, hal. 17.

[3] Didin Hafidhuddin, Panduan Praktis Tentang Zakat, Infaq, Sedekah, hal. 103; Zakat dalam Perekonomian Modern, hal. 95.

[4] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, II/865,

[5]  Wahbah az-Zuhaili,  Al-fiqh Al-Islami wa ‘Adillatuh, 2/866.

[6] Ibid.

[7] Yusuf Al-Qaradhawi, ibid., I/491-502; Wahbah az-Zuhaili, ibid., II/866.

[8]  Yusuf Al-Qaradlawi. Fiqh Zakat, 486, Didin Hafidhuddin, Panduan Praktis Tentang Zakat, Infaq, Sedekah, 104

[9] Ibn Rusyd. Bidâyat al-Mujtaahid, jilid 1 (t.t. Mustafa babi halabi, 1379 H- 1960 M ), 252-253.

[ والله اعلم بالصواب ]

Diskusihukumfiqh212.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar